About

Diberdayakan oleh Blogger.

About Me

Foto saya
Sulawesi Selatan, Makassar, Indonesia
baik hati , tidak sombong , rajin menabung :)

followers (!)

Twitter

RSS
selamat dataaaaaang di dunia SAYA :) dunia yang penuh pahit , asam , manisnya kehidupan !

tugas administrasi publik


Reformasi Administrasi Publik dan Aspek Kepemimpinan

Reformasi administrasi publik yang selama ini dilakukan hanya diarahkan pada masalah sumber daya manusia aparatur, kelembagaan, sistem serta tata laksana, namun kurang memperhatikan aspek kepemimpinan aparatur sehingga reformasi belum mampu memberikan sumbangan yang signifikan.

"Model pelayanan yang hanya menekankan pada sistem dan aspek teknis pelayanan dengan sasaran para petugas pelayanan, juga belum memberikan hasil yang memuaskan," kata Profesor Johanes Basuki saat menyampaikan pidato pada pengukuhannya sebagai guru besar tetap Sekolah Tinggi Administrasi, Lembaga Administrasi Negara, di Jakarta, Sabtu.

Pada saat yang bersamaan Prof Juni Pranoto juga dikukuhkan menjadi guru besar di lembaga yang sama. Hadir pada acara pengukuhan tersebut Kepala Lembaga Administrasi Negara, Sunarno dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Ginanjar Kartasasmita.

Johanes Basuki menyampaikan pidato berjudul Tantangan Ilmu Administrasi Publik: Paradigma Baru Kepemimpinan Aparatur Negara.

Basuki mengatakan, jika ditelusuri penyebab reformasi administrasi publik belum memberi sumbangan signifikan, salah satunya karena kurangnya perhatian terhadap reformasi terhadap aspek kepemimpinan aparatur negara.

Ia mengatakan, menurut kaidah, para pemimpin adalah manusia-manusia super yang memiliki kelebihan dari yang lain, kuat, gigih, bersemangat dan tahu segalanya.

Para pemimpin juga merupakan manusia-manusia yang jumlahnya sedikit, namun perannya dalam organisasi merupakan penentu keberhasilan dan suksesnya tujuan organisasi yang hendak dicapai.

Ia mengatakan, kunci paradigma kepemimpinan aparatur adalah kepemimpinan yang trasformasional, transaksional, resonan (primal) dan memiliki jiwa pelayanan kepada masyarakat serta keberanian untuk hidup berdasar visi yang kuat.

Kepemimpinan transformasional hakikatnya menunjuk pada proses membangun komitmen terhadap sasaran organiasi dan memberi kepercayaan kepad para pengikut untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut.

Kepemiminan transaksional merupakan salah satu gaya kepemimpinan yang intinya menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan. Kepemimpinan transaksional memungkinan pemimpin memotivasi dan mempengaruhi bawahan dengan cara mempertukarkan "reward" (penghargaan) dengan kinerja tententu.

Administrasi Publik

Administrasi publik, seperti yang dirumuskan oleh Pfiffner dan Presthus (1953), adalah sebuah disiplin ilmu yang terutama mengkaji cara-cara untuk mengimplementasikan nilai-nilai politik. Hal tersebut sejalan dengan gagasan awal Wilson dalam Shafritz dan Hyde (1992) yang dianggap sebagai orang yang membidani lahirnya ilmu administrasi publik modern di Amerika Serikat. Wilson mengemukakan bahwa disiplin administrasi publik merupakan produk perkembangan dari ilmu politik. Namun Wilson mengusulkan adanya pemisahan disiplin administrasi dari ilmu politik.

Lebih lanjut, administrasi publik menyangkut pengkoordinasian seluruh kegiatan yang berkaitan dengan tugas dalam melaksanakan kebijakan umum untuk memenuhi kebutuhan masyarakat suatu negara. Kebutuhan masyarakat tidak seluruhnya dapat dipenuhi oleh individu atau kelompoknya sendiri, melainkan memerlukan keterlibatan atau intervensi pihak lain yang dibentuk oleh mereka sendiri sebagai masyarakat suatu negara. Pihak lain ini dinamakan sebagai administrasi publik yang menurut Nigro & Nigro (1988) adalah public administration has an important role in the formulation of public policy and is this part of political process. Dengan demikian, administrasi publik mempunyai peranan yang sangat penting dalam merumuskan kebijakan negara dan oleh karenannya merupakan bagian dari proses politik.

Administrasi publik bersifat sangat dinamis, ia selalu ditantang oleh perubahan-perubahan yang dinamis dan tidak statis. Dinamika yang berkembang pada administrasi publik pada gilirannya memunculkan model-model baru, seiring dengan perkembangan pemikiran para ahli.

Dengan demikian, administrasi publik tidak saja mempersoalkan apa yang dilakukan pemerintah tetapi juga bagaimana cara pemerintah melakukannya. Terkait dengan hal tersebut, Long dalam Shafritz dan Hyde (1987:203) mengemukakan bahwa the lifehood of adiministration is power. Melalui kekuasaan yang dimilikinya, administrasi publik dapat membuat berbagai program kegiatan pembangunan dan melaksanakan berbagai usaha untuk mencapai tujuan dalam bentuk kebijakan.




Konvergensi Administrasi Publik dan Pembangunan

Secara umum, konvergensi antara administrasi publik dan pembangunan melahirkan suatu disiplin ilmu baru yang disebut sebagai administrasi pembangunan. Administrasi pembangunan berkembang karena adanya kebutuhan di negara–negara yang sedang membangun untuk mengembangkan lembaga–lembaga dan pranata-pranata sosial, politik, dan ekonomi, agar pembangunan dapat berhasil. Oleh karena itu menurut Kartasasmita (1997), pada dasarnya administrasi pembangunan adalah bidang studi yang mempelajari sistem administrasi negara di negara yang sedang membangun serta upaya untuk meningkatkan kemampuannya.

Secara konsep menurut Suminta (2005), administrasi pembangunan merupakan gabungan dua pengertian, yaitu administrasi, yang berarti segenap proses penyelenggaraan dari setiap usaha kerjasama sekelompok manusia untuk mencapai tujuan pembangunan. Hal ini merupakan rangkaian usaha perubahan dan pertumbuhan yang berencana yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintahan menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Dengan demikian, gabungan antara kedua pengertian tersebut di atas mengandung beberapa pokok pikiran, yaitu:

  1. Pembangunan merupakan suatu proses. Oleh karena itu, harus dilaksanakan secara terus-menerus, berkesinambungan, pentahapan, jangka waktu, biaya, dan hasil tertentu yang diharapkan.
  2. Pembangunan adalah suatu usaha yang dilakukan secara sadar dan merupakan hasil pemikiran sampai pada tingkat rasionalitas tertentu.
  3. Pembangunan dilaksanakan secara berencana.
  4. Pembangunan mengarah pada modernitas dan bertujuan untuk menemukan cara hidup yang lebih baik dari sebelumnya, lebih maju, serta dapat menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi atau iptek.
  5. Pembangunan mempunyai tujuan yang bersifat multidimensional, meliputi berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara, terutama aspek politik, ekonomi, sosial-budaya, serta pertahanan dan keamanan.
  6. Pembangunan ditujukan untuk membina bangsa.

Berdasarkan uraian di atas, administrasi pembangunan merupakan administrasi publik yang diarahkan untuk mendukung proses pembangunan, dalam arti untuk keperluan keberhasilan pembangunan, yang meliputi administrasi untuk perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan, pengendalian, dan evaluasi. Lebih lanjut, administrasi pembangunan merupakan administrasi publik yang diarahkan untuk penyempurnaan administrasi negara agar berkemampuan mendukung proses pembangunan.

Dengan demikian, administrasi pembangunan lahir dan merupakan penyempurnaan dari administrasi publik untuk dapat diterapkan di negara berkembang. Selain itu, tujuan diterapkannya administrasi pembangunan adalah untuk mencapai kemajuan pembangunan suatu negara menuju modernisasi. Dapat dikatakan pula bahwa, administrasi publik adalah ditujukan bagi negara yang sudah maju, sedangkan administrasi pembangunan ditujukan untuk negara yang sedang berkembang.

Menurut Tjokroamidjojo (1995), setidaknya terdapat 4 kecenderungan yang mengarahkan administrasi negara kepada administrasi pembangunan. Kecenderungan-kecenderungan tersebut adalah sebagai berikut:

  1. Perhatian administrasi negara mengarah kepada masalah-masalah pelaksanaan dan pencapaian tujuan pembangunan, yang dimulai dari perumusan kebijaksanaan, instrumen pelaksananya hingga pelaksanaan pembangunan itu sendiri.
  2. Administrasi negara mengembangkan penelaahan mengenai sikap dan peranan birokrasi (behavioral approach), serta berbagai masalah hubungan manusia, seseorang atau kelompok dalam birokrasi tersebut, juga ditelaah tentang bagaimana keputusan diambil, dan pengetahuan dikembangkan.
  3. Kecenderungan melakukan pendekatan manajemen dalam administrasi negara. Di sini dikembangkan sistem analisis administrasi negara terhadap administrasi pembangunan, penggunaan teknik-teknik kuantitatif dan analitis dalam administrasi negara.
  4. Administrasi negara memberikan tekanan kepada ekologi sosial dan kultural. Di sini ditekankan telaah terhadap hubungan dan sikap administratif dengan ekologi sosial dan budaya masyarakat tertentu.

Ada beberapa makna atau hakekat yang perlu di ingat sebagai dasar pemahaman yang berkaitan dengan administrasi public :

a. Bidang tersebut lebih berkaitan dengan dunia eksekutif, meskipun juga berkaitan dengan dunia yudikatif dan legeslatif

b. Bidang tersebut berkenaan dengan formulasi dan implementasi kebijakan public

c. Bidang tersebut berkaitan dengan berbagai masalah manusiawi dan usaha kerja sama untuk mengerjakan tugas-tugas pemerintah.

d. Meskipun bidang tersebut berbeda dengan administrasi swasta tetapi di overllaping dengan administrasi swasta.

e. Bidang tersebut diarahkan untuk menghasilkan public goods dan services.

f. Bidang ini memiliki aspek teoritis dan praktis



AKUNTABILITAS PUBLIK DAN TRANSPARANSI

Fenomena yang terjadi dalam perkembangan sektor publik di Indonesia dewasa ini adalah menguatnya tuntutan akuntabilitas atas lembaga-lembaga publik, baik di pusat maupun daerah. Akuntabilitas dapat diartikan sebagai bentuk kewajiban mempertanggungjawabkan keberhasilan atau kegagalan pelaksanaan misi organisasi dalam mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, melalui suatu media pertanggungjawaban yang dilaksanakan secara periodic.

Pemerintah, baik pusat maupun daerah, harus dapat menjadi subyek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik yaitu hak untuk tahu, hak untuk diberi informasi, dan hak untuk didengar aspirasinya.

Dimensi akuntabilitas publik meliputi akuntabilitas hukum dan kejujuran, akuntabilitas manajerial, akuntabilitas program, akuntabilitas kebijakan, dan akuntabilitas finansial. Akuntabilitas manajerial merupakan bagian terpenting untuk menciptakan kredibilitas manajemen pemerintah daerah. Tidak dipenuhinya prinsip pertanggungjawaban dapat menimbulkan implikasi yang luas. Jika masyarakat menilai pemerintah daerah tidak accountable, masyarakat dapat menuntut pergantian pemerintahan, penggantian pejabat, dan sebagainya. Rendahnya tingkat akuntabilitas juga meningkatkan risiko berinvestasi dan mengurangi kemampuan untuk berkompetisi serta melakukan efisiensi.

Akuntabilitas memungkinkan masyarakat untuk menilai pertanggungjawaban pemerintah atas semua aktivitas yang dilakukan. Concepts Statement No. 1 menekankan pula bahwa laporan keuangan pemerintah harus dapat membantu pemakai dalam pembuatan keputusan ekonomi, sosial, dan politik dengan membandingkan kinerja keuangan aktual dengan yang dianggarkan, menilai kondisi keuangan dan hasil-hasil operasi, membantu menentukan tingkat kepatuhan terhadap peraturan perundangan yang terkait dengan masalah keuangan dan ketentuan lainnya, serta membantu dalam mengevaluasi tingkat efisiensi dan efektivitas.

Akuntabilitas Publik Dalam Pengelolaan dan Pengawasan Keuangan Daerah

Jika ada pertanyaan, “produk apa yang saat ini paling laris”, maka jawabannya adalah otonomi daerah. Otonomi daerah menjadi sesuatu yang marketable dari berbagai sisi dan bidang kajian. Di satu pihak, otonomi daerah memberikan harapan baru terhadap tumbuhnya kesadaran untuk membangun daerah secara lebih optimal, tidak lagi terkonsentrasi di pusat. Namun di pihak lain, otonomi daerah menghadirkan kekhawatiran munculnya ‘desentralisasi masalah’ dan ‘desentralisasi kemiskinan’.

Selain itu, otonomi daerah juga menumbuhkan ‘ketakutan’ akan munculnya raja-raja kecil di daerah, di samping ‘kengerian’ beralihnya bahaya laten ekonomi (baca : korupsi, kolusi, nepotisme) dari pusat ke daerah. Bersamaan dengan itu, akuntabilitas publik (public accountability) dewasa ini juga menjadi kajian dan focus bahasan yang marak. Berkembangnya kajian tentang akuntabilitas publik ini terutama setelah berhasilnya gerakan reformasi yang menuntut adanya keterbukaan (transparansi) manajemen sektor pemerintahan di Indonesia selain kebijakan otonomi daerah menyusul dikeluarkannya Undang-undang No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Budaya Korupsi, Momok Penyelewangan Akuntabilitas Publik

Pemberitaan korupsi di media-media mungkin saat ini berada di puncak kepopuleran yang selalu menjadi berita utama dan dijadikan buah bibir dalam pengungkapannya. Sebenarnya permasalahan ini sudah lama mencuat di media-media bahkan sudah menjadi menu utama publik sehari-hari.

Bahkan kasus-kasus yang terungkap sudah merupakan berita yang dianggap biasa-biasa saja. Korupsi yang sudah membudaya sebenarnya merupakan kondisi yang sudah sangat memprihatinkan. Salah satu akibat buruk perilaku korup adalah kerugian keuangan Negara yang tidak sedikit jumlahnya. Amannya tindakan ini pun diindikasikan dalam prakteknya melibatkan banyak pihak atau bisa disebut dengan korupsi berjamaah. Keterlibatan semua lini juga semakin kuatnya posisi aman mereka para pelaku koruptor tersebut. Bahkan institusi kejaksaan yang seharusnya menjadi tumpuan masyarakat untuk mendapatkan keadilan yang semestinya malah dijadikan sarang mafia-mafia peradilan dan dijadikan tempat jual-beli perkara. Kejaksaan Agung dijadikan tempat tawar-menawar kasus korupsi yang akan diadili di pengadilan, yang bisa dengan tiba-tiba mengeluarkan dalih penangguhan kasus atau tidak ditemukannya potensi korupsi.

Korupsi masih saja berkelanjutan sampai pada kondisi yang sangat mengkhawatirkan. Keberadaan mereka pun kian samar karena berlindung di balik badan-badan atau instansi-instansi yang dianggap bersih, seperti Departemen Agama, Dinas Pendidikan dan Kejaksaan Agung. Selain itu pemerintah juga tampaknya masih menghadapi problem kredibilitas. Kekecewaan akan kredibilitas pemerintah ini sudah begitu mengkhawatirkan. Sampai timbulnya public judgement yang menyatakan bahwa korupsi adalah manisfestasi budaya bangsa. Yang tanpa disadari korupsi ini sudah merupakan kebiasaan yang lumrah dan wajar. Dianggap sebagai bagian dari budaya ketimuran. Kebiasaan koruptif lama ini pula yang telah melahirkan bibit-bibit korupsi yang semakin nyata.

Terbukti dengan perkembangan korupsi akhir-akhir ini yang semakin meraja lela. Dari situlah timbul sikap sinisme masyarakat terhadap pemerintah yang menyatakan bahwa hasil survey menunjukkan bahwa korupsi di sektor publik dianggap sangat lazim oleh 75% responden.

Dari data itu juga bisa dijadikan alasan yang mendasar masyarakat untuk berani menyatakan sikap sinisme ini terhadap berbagai upaya pemecahan pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Korupsi di Indonesia memang sudah sedemikian parah sehingga tidak mungkin bisa diberantas tuntas sampai ke akar-akarnya.

Membicarakan sikap sinisme masyarakat, hal tersebut berkaitan erat dengan akuntabilitas publik yaitu peran publik dalam mengawasi pemerintah dalam hal ini mengarah pada kinerja yang efektif. Akuntabilitas publik itu sendiri dipastikan mengarah kepada Sistem Pemerintahan yang Baik atau Good Governance. Akuntanbilitas publik ini pula dijadikan tantangan utama yang harus dihadapi pemerintah dalam menjalani kinerjanya. Posisi akuntabilitas berada dalam ilmu social dengan berbagai cabang ilmu social lainnya, seperti ekonomi, adminitrasi, politik, perilaku, dan budaya. Selain itu, akuntabilitas juga sangat berkaitan dengan sikap dan semangat pertanggung jawaban seseorang.

Masyarakat Transparansi Indonesia menegaskan prinsip-prinsip Good Governance itu diantaranya adalah :

Partisipasi Masyarakat

Semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga perwakilan sah yang mewakili kepentingan mereka.

Tegaknya Supremasi Hukum

Kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk di dalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia.

Transparansi

Tranparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau.

Peduli pada Stakeholder

Lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintahan harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan.

Berorientasi pada Konsensus

Tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingan-kepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu konsensus menyeluruh.

Kesetaraan

Semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka.

Efektifitas dan Efisiensi

Proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin.

Akuntabilitas

Para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta dan organisasi-organisasi masyarakat bertanggung jawab baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan.

Pelaksanaan Fungsi DPRD dalam Mengevaluasi Kinerja Organisasi Publik dalam Kerangka Balanced Scorecard

Organisasi publik adalah organisasi yang didirikan dengan tujuan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Hal ini menyebabkan organisasi publik diukur keberhasilannya melalui efektivitas dan efisisensi dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk itu organisasi publik harus menetapkan indikator-indikator dan target pengukuran kinerja yang berorientasi kepada masyarakat. Pengukuran kinerja pada organisasi publik dapat meningkatkan pertanggungjawaban dan memperbaiki proses pengambilan keputusan.

Organisasi publik mengukur keberhasilan mereka melalui kemampuan mengatur pengeluaran sejumlah anggaran yang berwujud pada kebutuhan masyarakat, instansi pemerintah lain dan pemerintah pusat (stakeholders). Dengan demikian, fokus utama organisasi pemerintah bukan pada pencapaian tujuan finansial namun pada tujuan yang berfokus pada pelanggan, yang dalam hal ini adalah masyarakat dan pemerintah pusat.

Para pejabat pemerintah dapat mulai mendefinisikan segmen masyarakat yang dilayani, dan kemudian memilih tujuan dan ukuran kinerja untuk segmen tersebut. Peranan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) mutlak diperlukan sebagai mitra sejajar dengan pemda yang mempunyai fungsi dan kedudukan seperti telah diatur dalam UU No.22 th 2002. Fungsi DPRD adalah fungsi legislasi, anggaran , dan pengawasan kebijakan pemda yang tertuang diantaranya dalam bentuk peraturan daerah (perda) yang merupakan rambu-rambu dan pedoman yang harus dipatuhi oleh seluruh komponen masyarakat.

Balanced scorecard dapat digunakan pada organisasi publik setelah dilakukan modifikasi dari konsep balanced scorecard yang awalnya ditujukan bagi organisasi bisnis. Modifikasi tersebut antara lain adalah dalam hal misi organisasi publik, sehingga tujuan utama suatu organisasi publik adalah memberi pelayanan kepada masyarakat dapat tercapai secara efektif dan efisien. Bagian lain yang perlu dimodifikasi adalah posisi antara perspektif finansial danperspektif pelanggan. Selanjutnya perspektif customers diubah menjadi perspektif customers & stakeholders dan perspektif learning dan growth menjadi perspektif employess and organization capacity .

Sebelum mengimplementasikan balanced scorecard terlebih dahulu yang dilakukan adalah membangun balanced scorecard melalui tahapan-tahapan berikut:

1) menilai fondasi organisasi

2) membangun strategi bisnis

3) membuat tujuan organisasi

4) membuat strategic map bagi strategi bisnis organisasi

5) pengukuran kinerja dan

6) menyusun inisiatif.

Tahapan dalam mengimplementasikan balanced scorecard meliputi identifikasi data yang dibutuhkan, membangun balanced scorecard secara menyeluruh dan melakukan evaluasi. DPRD dapat menggunakan kerangka BSC pelaksanaan fungsi legislasi sehingga peraturan daerah yang dihasilkan akan terintegrasi dengan tujuan pembangunan daerah

Birokrasi Publik dan Pemerintahan

Hampir seluruh pemerintahan di dunia mengalami reformasi dan reorganisasi. Persoalan umum yang dihadapi birokrasi publik, terkait masalah demokrasi, adalah efesiensi/inefisiensi dan ketidakmampuan pemerintahan me-manage dirinya selaku sebuah organisasi. Persoalan umum lain Negara demokratis adalah, bagaimana memperkuat kapasitas pemerintah dalam memproses tuntutan dari warganegara serta responsivitas mereka. Dalam menghadapi persoalan ini, kerap pemerintah di setiap Negara menerapkan apa yang dinamakan New Public Management (NPM). NPM adalah pelembagaan teknik-teknik manajemen yang membuat sektor publik atau birokrasi Negara berfungsi layaknya perusahaan swasta, seraya menekankan peran pemerintah selaku penyedia jasa kepada para “pelanggannya.” Dalam NPM, warganegara diposisikan layaknya “customer” yang dapat memilih layanan-layanan tertentu yang akan mereka terima dari pemerintah.

Governing dan Governance

Kajian Birokrasi Publik dan Pemerintahan menjadi lebih menarik dikaji jika dibedakan terlebih dulu dua konsep berikut, yaitu Governing (mengatur) dan Governance (memerintah). Logika dasar dari governance adalah partisipasi yang lebih besar dari warganegara dalam menyusun dan melaksanan kebijakan akan mempertinggi kualitas pemerintahan. Logika ini didasarkan pada asumsi demokrasi dan efisiensi administrasi Negara.

“Governing” dan “Governance” secara asal bahasa berkait dengan bagaimana mengatur dan mengendalikan sesuatu. Tatkala pemerintah hendak mencapai tujuannya, mereka harus sadar konsekuensi-konsekuensi dari tindakan sebelumnya. “Governance” atau “memerintah bersama” merupakan pendekatan alternative atas “governing” atau tepatnya, administrasi Negara. Governance hakikatnya adalah pelibatan masyarakat secara lebih besar dalam melakukan “governing”. Governance berupaya mengurangi aspek hirarki dalam sistem administrasi Negara. Masalah hirarki ini kerap dicurigai sebagai penyebab hilangnya “orang-orang berbakat” di dalam pemerintahan dan mengasingkat publik.

Governance dan Demokrasi

Dalam pengertian umum demokrasi perwakilan, warganegara terlibat dalam penentuan kebijakan hanya secara periodik, di waktu pemilu saja. Kini, lewat konsep “governance” keterlibatan warganegara hendak dilakukan setiap saat. Warganegara dapat terlibat dalam penentuan kebijakan dan cara pelaksanaannya melalui serangkaian aktivitas yang menghubungkan publik pada pemerintah.

Lewat konsepsi “governance” terjadi peralihan lokus keterlibatan publik, dari sekadar input (pemilu) menjadi output (penentuan kebijakan dan pelaksanaannya). Pemerintah dalam persepsi NPM legitimasinya berada dalam hal output mereka atas “customer” (warganegara). Dalam “governance” terdapat lebih elemen demokrasi dan politik yang terlibat dalam legitimasi. Namun, legitimasi politik tersebut bukan berasal dari partai politik dan caleg terpilih, tetapi lebih diturunkan dari kontak-kontak langsung antara warganegara dengan pemerintah, khususnya dengan birokrasi-birokrasi pemerintah. Ini atas asumsi, warganegara lebih banyak bersentuhan dengan para birokrat ketimbang caleg terpilih mereka.

Governance dan Efektivitas

Demokratisasi dan legitimasi adalah pendekatan dasar memerintah di dalam administrasi Negara. Kendati hirarki merupakan suatu kebutuhan dalam memanage sejumlah besar orang dengan ragam pekerjaan, tetapi model manajemen partisipatif diyakini dapat memuncul efektivitas hasil yang lebih besar lagi. Keterlibatan klien dan publik diyakini punya konsekuensi yang positif pada program-program publik. Efektivitas ini datang dari pengerjaan tugas secara bersama lewat organisasi-organisasi jaringan (network).

Salah satu kelebihan dari jaringan organisasi ini adalah terlibatnya birokrat di lini depan dalam pembuatan keputusan. Jadi, tatkala suatu masalah muncul dan diidentifikasi sumber dan solusinya, dengan bantuan organisasi-organisasi masyarakat sipil, birokrat lini depan langsung mengambil inisiatif tindakan. Keputusan yang diambil punya nilai legitimasi karena melibatkan organisasi publik nonpemerintah.

Reformasi Birokrasi Butuh Rakyat yang Kritis

Makin rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik, ketika era otonomi daerah yang tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat bergulir menyusul peralihan kekuasaan. Selain mereka masih berorientasi pada kekuasaan, birokrasinya juga dibebani anggaran untuk membiayai dirinya sendiri.

Pemerintah daerah juga sering membuat aturan yang tumpang tindih dengan hukum di atasnya. Misalnya, jika sebelumnya pengurusan frekuensi radio cukup ke Menteri Perhubungan karena wewenang pemberian frekuensi masih dimiliki pemerintah pusat, namun sekarang juga harus ke pemerintah daerah lengkap dengan retribusinya.

Pemerintah sebenarnya telah berusaha memangkas jalur birokrasi dengan cara menyerahkan beberapa wewenang yang semula ada di pemerintah pusat atau provinsi ke daerah tingkat dua. Masalahnya, penyerahan wewenang ini membuat aparat pemerintah daerah merasa berkuasa hingga bertindak ngawur.

Meluasnya praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) semakin mencoreng birokrasi publik. KKN tidak hanya membuat pelayanan birokrasi menjadi amat sulit dinikmati secara wajar oleh masyarakatnya, tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal pelayanan.

Kepentingan penguasa menjadi sentral dari kehidupan dan perilaku birokrasi. Hal ini tercermin dalam proses kebijakan publik, di mana kepentingan penguasa selalu menjadi kriteria yang dominan dan sering kali menggusur kepentingan masyarakat banyak manakala keduanya tidak berjalan bersama-sama.

Pelayanan Publik dan konsep tentang Kepuasan Pelanggan

Salah satu konsep dasar dalam memuaskan pelanggan, minimal mengacu pada :

1. Keistimewaan yang terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung maupun keistimewaan atraktif

2. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan. Sehingga dengan demikian produk-produk didesain, diproduksi, serta pelayanan diberikan untuk memenuhi keinginan pelanggan

Kompetensi pelayanan prima yang diberikan oleh aparatur pemerintahan kepada masyarakat. Oleh karena itu, kualitas pelayanan masyarakat dewasa ini tidak dapat diabaikan lagi, bahkan hendaknya sedapat mungkin disesuaikan dengan tuntutan era globalisasi. Sudarsono Hardjosoekarto dalam Bisnis dan Birokrasi Nomor 3/Vol. IV/September 1994 (p. 16) menyebutkan beberapa kategori dalam mengkaji pelayanan prima.

Kategori berdasar yang meliputi analisa makro dan analisa mikro. Kedua kategori yang berorientasi pada model Mc. Kinsey yang mengkaitkan upaya pelayanan prima dengan 7 (tujuh) unsur S, yakni : Strategi, Struktur, System, Staff, Skill, Style, dan Share.

Kepuasan pelanggan (masyarakat) dapat dicapai apabila aparatur pemerintah yang terlibat langsung dalam pelayanan, dapat mengerti dan menghayati serta berkeinginan untuk melaksanakan pelayanan prima

Masyarakat (pelanggan) dapat terpuaskan dari pelayanan aparatur (pemerintah) hanya berorientasi pada kepuasan total pelanggan. Pelanggan membutuhkan komitmen dan tindakan nyata dal;am memberikan pelayanan prima. Adapun kriteria yang mencirikan pelayanan sekaligus membedakannya dari barang adalah :

• Pelayanan merupakan output tak berbentuk

• Pelayanan merupakan output variabel, tidak standar

• Pelayanan tidak dapat disimpan dalam inventori, tetapi dapat dikonsumsi dalam produksi

• Terdapat hubungan langsung yang erat dengan pelanggan melalui proses pelayanan

• Pelanggan berpartisipasi dalam proses memberikan pelayanan

• Keterampilan personil diserahkan atau diberikan secara langsung kepada pelanggan

• Pelayanan tidak dapat diproduksi secara massal

• Membutuhkan pertimbangan pribadi yang tinggi dari individu yang memberikan pelayanan

• Perusahaan pada umumnya bersifat padat karya

• Fasilitas pelayanan berada dekat lokasi pelanggan

• Pengukuran efektivitas pelayanan bersifat subyektif

• Pengendalian kualitas terutama dibatasi pada pengendalian proses

• Option penetapan harga adalah lebih rumit

Peningkatan kualitas pelayanan pada masyarakat dalam menghadapi era globalisasi sangat memerlukan sebuah strategi, mulai dari strategi perancangan pelayanan prima dalam manajemen kualitas modern hingga kepada implementasi dari rancangan terhadap kualitas pelayanan. Untuk itu, Gaspersz, 1997 merumuskan strategi pelayanan dengan manajemen jasa modern yang kemudian dikenal dengan strategi 7 (tujuh) P, yakni : Product, Price, Place, Promotion, Phisical evidence, Proses desain, Participants

Agar pelayanan aparatur pemerintah dapat lebih memuaskan masyarakat, selain dituntut memahami strategi 7 (tujuh) P, kriteria yang mencirikan yang pelayanan, ciri khas dari pemimpin pelayan, model 7 (tujuh) S dari Mc Kinsey, juga semua aparatur pelayan dituntut untuk memahami visi, misi dan standar pelayanan prima. Kiranya kepedulian kita terhadap kualitas pelayanan pada masyarakat dapat meningkat.

Pelayanan Publik

Syarat Birokrasi Berkinerja Tinggi

Pada Bab 14, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004-2009. dikatakan: “Reformasi birokrasi belum berjalan sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas permasalahan dalam mencari solusi perbaikan. Masih tingginya penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktik KKN, dan masih lemahnya pengawasan terhadap kinerja aparatur negara. Semuanya itu merupakan cerminan dan kondisi kinerja birokrasi yang masih jauh dari harapan”.

Karena itu, pemerintah seharusnya menyadari bahwa masyarakat telah menyerahkan mandat atau wewenang kepada pemerintah untuk memberikan “keteraturan pelayanan publik” bagi setiap warganya. Sebagai negara demokrasi eksistensi apparatus berasal dari publik (rakyat). Melalui pemilihan umum rakyat mempercayakan aspirasi dan nasibnya kepada wakil-wakil rakyat untuk menduduki lembaga-lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Selain itu secara langsung rakyat memilih presiden dan wakil presiden untuk menjalankan roda pemerintahan yang kemudian dioperasionalkan dalam berbagai lembaga-lembaga pelaksana baik secara horizontal maupun secara vertikal. Jadi secara etis para pejabat publik mempunyai tanggung jawab moral dalam mengatur dan memimpin kehidupan bangsa dan negara terhadap publik yang telah memberikan kepercayaan terhadap mereka.

Karena itu, kegiatan apa pun yang dilakukan para pejabat dalam berbagai lembaga muarahnya adalah untuk kepentingan publik, baik yang sifatnya langsung maupun tidak langsung, harus didasarkan pada atau sesuai dengan kepentingan publik itu sendiri. Salah satu dimensi kepentingan publik adalah kepastian memperoleh pelayanan jasa publik (public service) dan layanan sipil (civil service) yang cepat, tepat, adil, dan terjangkau dari penyelenggara negara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Publik mempunyai hak untuk melakukan pengawasan terhadap setiap perbuatan yang dilakukan pejabat publik. Publik berhak memberikan penilaian apakah perbuatan dan perilaku pejabat publik benar atau salah. Publik berhak menilai apakah kesenjangan antara pelayanan yang diberikan atau diharapkan publik (expected service) dengan pelayanan yang dirasakan oleh penerima layanan (percieved service) telah sesuai. Jika muncul “gap” (kesenjangan) tentu publik berhak melakukan tuntutan (klaim) kepada penyedia layanan.


Profesionalisme Apparatus

Jika pemerintah tidak sanggup menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak rakyat berupa pelayanan publik yang berkualitas, maka dikategorikan pemerintah tersebut gagal menjalankan visi dan misinya. Rakyat menjadi korban pendirian pemerintahan, mungkin akan berpikir dengan atau tanpa pemerintah rakyat dapat berjuang sendiri untuk hidupnya. Dengan kata lain, pemerintahan yang gagal adalah pemerintah yang tidak mampu memenuhi kewajiban dan memperhatikan kepentingan warganya. Misalnya, pembiaran pemerintah terhadap pelayanan publik yang tidak berkualitas, atau hanya mementingkan kepentingan politik, kenyamanan pada rakyat terabaikan, dan sebagainya.

Dengan demikian bila ditinjau dari perspektif persoalan filosofis dalam kehidupan (philosophy of life) terabainya perhatian pemerintah terhadap pelayanan publik, dan membiarkan pelayanan publik tidak teratur demi kepentingan politik sesaat, merupakan keniscayaan musnahnya “kontrak sosial” antara negara (state) dan masyarakat warga (civil society). Dan melupakan kepentingan masyarakat sebagai pemberi kedaulatan merupakan pintu masuk keruntuhan birokrasi. Sejatinya, pemberian pelayanan yang berkualitas merupakan cerminan dari praktik profesionalisme apparatus dan menjadi senjata ampuh dalam bersaing meraih dan mempertahankan popularitas.


Kelembagaan Pelayanan Terpadu

Walaupun pemerintah sejak tahun 1998 telah menggulirkan kurang lebih limabelas kebijakan peningkatan kualitas pelayanan publik, tetapi praktiknya hanya sebatas himbauan tanpa dibarengi dengan sanksi kepada setiap Pemerintah Kabupaten/Kota. Misalnya, memotong Dana Alokasi Umum (DAU) cukup signifikan.

Payung hukum kelembagaan ini tentu saja berkaitan dengan keberlangsungan (sustainability) dan keberadaan (eksistensi) lembaga pelayanan terpadu di daerah. Pembentukan lembaga pelayanan terpadu yang didasarkan pada peraturan daerah jelas menunjukkan adanya dukungan dari wakil-wakil rakyat (DPRD) terhadap eksekutif.

Merupakan hal yang wajar terjadi apabila pencetusan pembentukan kelembagaan pelayanan baru di daerah langsung mendapat dukungan dan atau menerima penolakan/tantangan dari pihak-pihak yang berkepentingan, dalam hal ini dari dinas/kantor/badan yang memiliki tugas pemberian pelayanan kepada masyarakat, dikarenakan haknya untuk memberikan pelayanan yang notabene menjadi salah satu sumber pendapatannya menjadi terganggu.

KEBIJAKAN PUBLIK (PUBLIC POLICY)

Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah sebagai pembuat kebijakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu di masyarakat di mana dalam penyusunannya melalui berbagai tahapan.

Tahap-tahap kebijakan publik menurut William Dunn adalah sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda

Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.

Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986) diantaranya:

1. telah mencapai titik kritis tertentu à jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;

2. telah mencapai tingkat partikularitas tertentu à berdampak dramatis;

3. menyangkut emosi tertentu dari sudut kepent. orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;

4. menjangkau dampak yang amat luas ;

5. mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;

6. menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)

2. Formulasi kebijakan

Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada.

3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan

Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah.

4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan

Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini , evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalh-masalah kebijakan, program-program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.

PENGERTIAN DAN BENTUK ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK

William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan.

Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.

Analisis kebijakan publik berdasarkan kajian kebijakannya dapat dibedakan antara analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik tertentu dan sesudah adanya kebijakan publik tertentu. Analisis kebijakan sebelum adanya kebijakan publik berpijak pada permasalahan publik semata sehingga hasilnya benar-benar sebuah rekomendasi kebijakan publik yang baru. Dunn (2000: 117) membedakan tiga bentuk utama analisis kebijakan publik, yaitu:

1. Analisis kebijakan prospektif

Analisis Kebijakan Prospektif merupakan suatu alat untuk mensintesakan informasi untuk dipakai dalam merumuskan alternatif dan preferensi kebijakan yang dinyatakan secara komparatif, diramalkan dalam bahasa kuantitatif dan kualitatif sebagai landasan atau penuntun dalam pengambilan keputusan kebijakan.

2. Analisis kebijakan retrospektif

Analisis Kebijakan Retrospektif adalah sebagai penciptaan dan transformasi informasi sesudah aksi kebijakan dilakukan. Terdapat 3 tipe analis berdasarkan kegiatan yang dikembangkan oleh kelompok analis ini yakni analis yang berorientasi pada disiplin, analis yang berorientasi pada masalah dan analis yang berorientasi pada aplikasi. Tentu saja ketiga tipe analisis retrospektif ini terdapat kelebihan dan kelemahan.

3. Analisis kebijakan yang terintegrasi

Analisis Kebijakan yang terintegrasi merupakan bentuk analisis yang mengkombinasikan gaya operasi para praktisi yang menaruh perhatian pada penciptaan dan transformasi informasi sebelum dan sesudah tindakan kebijakan diambil. Analisis kebijakan yang terintegrasi tidak hanya mengharuskan para analis untuk mengkaitkan tahap penyelidikan retrospektif dan perspektif, tetapi juga menuntut para analis untuk terus menerus menghasilkan dan mentransformasikan informasi setiap saat.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

guest B.O.OK :)


ShoutMix chat widget